Tulisan saya ini sudah pernah dipublikasi sebelumnya di suatu buletin. Tapi tak apalah kalau saya mencopas nya lagi ke blog saya. Karena saya merasa ini sangat penting supaya bisa berulang kali mengingatkan kepada diri sendiri.
Sekitar setahun yang lalu, saya “berkunjung” ke rumah duka karena sahabat baik saya ketika masih di SMU meninggal dunia karena sakit. Kepergiannya terasa begitu mendadak karena sebelumnya tidak ada yang pernah tahu akan penyakitnya selain keluarganya. Setelah duduk dan berbincang dengan salah satu kerabat almarhum, saya kemudian ditinggal sendiri. Dalam kesendirian ini, sambil menatap peti mati, saya membayangkan suatu saat nanti (pasti) saya sendiri yang terbaring di dalamnya.
Pernahkah teman-teman membayangkan hal yang sama ? Berapa banyak orang yang akan menyesali atau bahkan menangisi kepergian kita ? Berapa banyak tanda tangan yang dibubuhkan pada buku daftar hadir rumah duka ? Berapa banyak uang duka yang memenuhi kotak dana ? Berapa banyak batang dupa yang ditancapkan seiring doa yang diucapkan untuk mengiringi kepergian kita ? Atau malah tidak ada seorang pun yang hadir pada upacara pemakaman kita. Atau bahkan kematian kita pun tidak ada yang mengetahuinya. Terbujur kaku seorang diri menanti ajal tanpa seorang pun yang menemani. Hanya arwah kita sendiri yang menunggui jasadnya menjadi dingin untuk menjadi santapan hewan-hewan liar yang kelaparan.
Sekitar setahun yang lalu, saya “berkunjung” ke rumah duka karena sahabat baik saya ketika masih di SMU meninggal dunia karena sakit. Kepergiannya terasa begitu mendadak karena sebelumnya tidak ada yang pernah tahu akan penyakitnya selain keluarganya. Setelah duduk dan berbincang dengan salah satu kerabat almarhum, saya kemudian ditinggal sendiri. Dalam kesendirian ini, sambil menatap peti mati, saya membayangkan suatu saat nanti (pasti) saya sendiri yang terbaring di dalamnya.
Pernahkah teman-teman membayangkan hal yang sama ? Berapa banyak orang yang akan menyesali atau bahkan menangisi kepergian kita ? Berapa banyak tanda tangan yang dibubuhkan pada buku daftar hadir rumah duka ? Berapa banyak uang duka yang memenuhi kotak dana ? Berapa banyak batang dupa yang ditancapkan seiring doa yang diucapkan untuk mengiringi kepergian kita ? Atau malah tidak ada seorang pun yang hadir pada upacara pemakaman kita. Atau bahkan kematian kita pun tidak ada yang mengetahuinya. Terbujur kaku seorang diri menanti ajal tanpa seorang pun yang menemani. Hanya arwah kita sendiri yang menunggui jasadnya menjadi dingin untuk menjadi santapan hewan-hewan liar yang kelaparan.
Kesemuanya ini bisa dilihat dari seberapa besar esensi kehidupan kita bagi hidup orang lain, seberapa penting keberadaan kita bagi orang lain. Di mana ada kita, di situ orang lain bisa merasakan kenyamanan, bermanfaat, dapat diandalkan, bukan merasakan ancaman dan ketakutan bagi orang lain.
Lalu apakah penting menjelang kematian ada orang yang menemani atau menghadiri pemakaman kita toh setelah mati kita tidak akan membawa apa-apa ke dunia berikutnya ?
Seringkali kita takut atau enggan ketika harus membicarakan kematian, padahal begitu kita terlahir ke dunia apapun, sesungguhnya pada saat itu pula kematian sudah mengikuti kita.
Tentu saja jika kita tidak terlahir, maka kita juga tidak akan mengalami kematian. Demikian pula sebaliknya. Begitu kita mengalami kematian, saat itu pula kehidupan baru (entah di alam apa) sudah mengikuti kita. Seorang ilmuwan ternama Perancis, Lavoisier juga pernah berkata, “Rien ne se cree, rien ne se perd” (tiada yang dilahirkan tiada yang meninggal)
Jadi yang benar sesungguhnya kehidupan setelah kematian atau kematian setelah kehidupan ? Kehidupan yang kita jalani ini dapat dianalogikan seperti mimpi. Hanya saja, hidup kita ini merupakan mimpi yang sangat panjang. Kita akan terbangun ketika kita mengalami kematian dan kita tidak akan pernah tahu mimpi-mimpi apa yang menunggu kita selanjutnya. Pada umumnya, orang tidak menyadari ketika dirinya sudah meninggal. Seperti halnya di film Ghost, orang yang baru mengalami kematian masih mencoba berhubungan dengan orang-orang yang masih hidup. Tetapi setelah mengetahui bahwa tubuh dan batin sudah berpisah, mereka akan mengalami ketakutan yang luar biasa, karena batinnya sama sekali belum siap untuk hal ini.
Lalu bagaimana kiranya supaya kita siap menghadapi kematian. Sebenarnya tidak ada resep khusus untuk ini. Kita sebaiknya menghindari pemikiran-pemikiran seperti, seharusnya saya masih bisa hidup lebih lama lagi, penyesalan, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dihindari, terutama saat menjelang kematian karena kondisi pikiran saat menjelang kematian sangat berpengaruh besar pada alam berikutnya yang akan kita jalani. Selain itu kita juga senantiasa menyadari bahwa kematian dapat terjadi kapan pun dan di mana pun.
Lalu apakah penting menjelang kematian ada orang yang menemani atau menghadiri pemakaman kita toh setelah mati kita tidak akan membawa apa-apa ke dunia berikutnya ?
Seringkali kita takut atau enggan ketika harus membicarakan kematian, padahal begitu kita terlahir ke dunia apapun, sesungguhnya pada saat itu pula kematian sudah mengikuti kita.
Tentu saja jika kita tidak terlahir, maka kita juga tidak akan mengalami kematian. Demikian pula sebaliknya. Begitu kita mengalami kematian, saat itu pula kehidupan baru (entah di alam apa) sudah mengikuti kita. Seorang ilmuwan ternama Perancis, Lavoisier juga pernah berkata, “Rien ne se cree, rien ne se perd” (tiada yang dilahirkan tiada yang meninggal)
Jadi yang benar sesungguhnya kehidupan setelah kematian atau kematian setelah kehidupan ? Kehidupan yang kita jalani ini dapat dianalogikan seperti mimpi. Hanya saja, hidup kita ini merupakan mimpi yang sangat panjang. Kita akan terbangun ketika kita mengalami kematian dan kita tidak akan pernah tahu mimpi-mimpi apa yang menunggu kita selanjutnya. Pada umumnya, orang tidak menyadari ketika dirinya sudah meninggal. Seperti halnya di film Ghost, orang yang baru mengalami kematian masih mencoba berhubungan dengan orang-orang yang masih hidup. Tetapi setelah mengetahui bahwa tubuh dan batin sudah berpisah, mereka akan mengalami ketakutan yang luar biasa, karena batinnya sama sekali belum siap untuk hal ini.
Lalu bagaimana kiranya supaya kita siap menghadapi kematian. Sebenarnya tidak ada resep khusus untuk ini. Kita sebaiknya menghindari pemikiran-pemikiran seperti, seharusnya saya masih bisa hidup lebih lama lagi, penyesalan, dan sebagainya. Pemikiran-pemikiran seperti ini perlu dihindari, terutama saat menjelang kematian karena kondisi pikiran saat menjelang kematian sangat berpengaruh besar pada alam berikutnya yang akan kita jalani. Selain itu kita juga senantiasa menyadari bahwa kematian dapat terjadi kapan pun dan di mana pun.
Selama kita hidup, kita telah terprogram untuk melakukan berbagai aktivitas yang lama kelamaan menjadi kebiasaan. Kebiasaan ini menjadi sesuatu yang dilakukan berulang-ulang, tanpa ada pertimbangan dan bahkan tidak tersadari lagi ketika melakukannya. Kecenderungan ini yang mereka sebut energi kebiasaan. Energi kebiasaan inilah yang akan muncul saat menjelang kematian kita. Saat menanti kelahiran kembali, ada dua hal yang akan terjadi; pertama kita masih mengalami apa yang kerap kali kita hadapi atau lakukan selama kehidupan kita yang lampau. Kedua, kita akan melihat bayangan kehidupan yang akan datang.
Seorang guru besar Tai Situ Rinpoche berkata bahwa sangat penting bagi kita untuk tetap bersikap tenang, dan tidak terbawa perasaan pada moment ini. Contoh: kita melihat segerombolan singa berlari ke arah kita. Biasanya, kita akan merasa sangat
ketakutan, lalu berlari sekuat tenaga kemudian mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu, misalnya kita akan melihat pepohonan yang rimbun dan memungkinkan kita bersembunyi di bawahnya. Ketika kita memasuki tempat itu, dan mulai merasakan nyaman dan enggan untuk berpindah lagi, maka kemungkinan besar itulah tempat kita akan dilahirkan kemudian.
Dengan menjalani hidup berkesadaran dan penuh respect, menjaga setiap moment hidup kita dari satu moment ke moment berikutnya, menyadari setiap nafas masuk dan nafas keluar, kita menyiapkan batin kita dalam menghadapi kematian. Ketika menjelang kematian pun tidak akan ada lagi penyesalan. Kita memulai mimpi kita sebagai manusia sejak kita masih di dalam kandungan, dan mimpi tersebut akan berakhir begitu kita mati. Mimpi-mimpi selanjutnya seperti apa, tentu saja tergantung pada sila, samadhi dan panna yang kita pupuk di mimpi sebelumnya. Itulah mengapa dalam kehidupan ini, memupuk perbuatan baik saja tidak cukup jika tidak dilengkapi dengan “amunisi” meditasi yang cukup. Perbuatan baik sebaiknya disertai dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari bermeditasi.
Namun, hal ini tidak perlu dikhawatirkan berlebihan karena mengetahui ataupun tidak mengenai hal ini, secara teknis kita sudah sukses menjadi manusia pada kehidupan ini. Yang penting kita perlu mempersiapkan diri dengan latihan/praktek Dhamma dalam kehidupan kita sehingga latihan-latihan ini menjadi kebiasaan yang baik dalam diri kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan karena tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Misalnya karena sial pada saat menjelang kematian, kita berpikir yang tidak-tidak sehingga terlahir di alam rendah.
Sebagai penutup, saya ingin berbagi cerita yang lumayan berhubungan dengan topik di atas. Diceritakan bahwa terdapat seorang bos mafia yang dalam hidupnya sudah membunuh banyak orang dan berbuat banyak karma buruk lainnya. Suatu ketika gerombolannya diserang kelompok lain sehingga ia harus melarikan diri dengan beberapa luka tembakan di sekujur tubuhnya. Darahnya banyak mengalir dari setiap lubang tubuh yang terkena tembakan.
Akhirnya ia sampai pada suatu tempat di sebuah vihara. Kebetulan saat itu seorang biksu sedang memberikan ceramah tentang bagaimana pikiran yang tenang sebelum ajal dapat membawa seseorang terlahir kembali di alam yang lebih baik. Namun si bos mafia ini hanya mendengarkan beberapa penggalan kata terakhir. Karena merasa dirinya tidak punya harapan lagi, maka ia mencoba mempraktekkan apa yang dikatakan oleh sang bhikkhu tadi.
Ia perlahan-lahan mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal akibat lari dikejar-kejar musuh. Nafasnya yang melambat turut memperlambat denyutan jantungnya sehingga aliran darah pun melambat dengan sendirinya. Darah di seluruh lukanya perlahan-lahan tidak mengalir lagi. Akibat kondisi yang semakin stabil ini, tubuhnya membaik dan menciptakan kondisi pikiran yang tenang bagi si bos mafia tersebut. Pikiran untuk terlahir kembali di alam yang lebih baik ini menciptakan ketenangan yang luar biasa dan memperlambat proses kematiannya.
Lama kelamaan karena sifat dan perbuatan semasa hidupnya yang pendendam, tidak sabaran, dan lain-lain, ia menjadi heran dan mulai tidak sabar ketika proses kematiannya terasa lama sekali. Kemudian muncul pikiran-pikiran curiga pada sang biksu, jangan-jangan dirinya ditipu, lalu kesal dan marahnya bukan main. Perlahan-lahan nafasnya mulai tidak beraturan dan jantungnya mulai memompa lebih cepat. Karena tidak menyadari perubahan kondisi batin maupun fisiknya, luka-luka di sekujur tubuhnya membuka kembali dan darah pada lukanya kembali mengalir deras. Seketika itu pula, ia meninggal. Lalu bagaimana kondisi pikirannya sesaat menjelang ajal ? Kira-kira ke alam mana kelak ia akan dilahirkan ?
“Our birth and death are just one thing. You can’t have one without the other. It’s a little funny to see how at a death people are so tearful and sad, and at a birth how happy and delighted. It’s delusion. I think that if you really want to cry, then it would be better to do so when someone’s born. Cry at the root, for if there were no birth, there would be no death.”
(Ajahn Chah in No Ajahn Chah)
Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling.
Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.
If death meant just leaving the stage long enough to change costume and come back as a new character...Would you slow down? Or speed up ?
Mari memulai lembaran baru dengan
belajar, berlatih dan berbagi hidup berkesadaran
Seorang guru besar Tai Situ Rinpoche berkata bahwa sangat penting bagi kita untuk tetap bersikap tenang, dan tidak terbawa perasaan pada moment ini. Contoh: kita melihat segerombolan singa berlari ke arah kita. Biasanya, kita akan merasa sangat
ketakutan, lalu berlari sekuat tenaga kemudian mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu, misalnya kita akan melihat pepohonan yang rimbun dan memungkinkan kita bersembunyi di bawahnya. Ketika kita memasuki tempat itu, dan mulai merasakan nyaman dan enggan untuk berpindah lagi, maka kemungkinan besar itulah tempat kita akan dilahirkan kemudian.
Dengan menjalani hidup berkesadaran dan penuh respect, menjaga setiap moment hidup kita dari satu moment ke moment berikutnya, menyadari setiap nafas masuk dan nafas keluar, kita menyiapkan batin kita dalam menghadapi kematian. Ketika menjelang kematian pun tidak akan ada lagi penyesalan. Kita memulai mimpi kita sebagai manusia sejak kita masih di dalam kandungan, dan mimpi tersebut akan berakhir begitu kita mati. Mimpi-mimpi selanjutnya seperti apa, tentu saja tergantung pada sila, samadhi dan panna yang kita pupuk di mimpi sebelumnya. Itulah mengapa dalam kehidupan ini, memupuk perbuatan baik saja tidak cukup jika tidak dilengkapi dengan “amunisi” meditasi yang cukup. Perbuatan baik sebaiknya disertai dengan kebijaksanaan yang diperoleh dari bermeditasi.
Namun, hal ini tidak perlu dikhawatirkan berlebihan karena mengetahui ataupun tidak mengenai hal ini, secara teknis kita sudah sukses menjadi manusia pada kehidupan ini. Yang penting kita perlu mempersiapkan diri dengan latihan/praktek Dhamma dalam kehidupan kita sehingga latihan-latihan ini menjadi kebiasaan yang baik dalam diri kita. Tidak ada yang perlu ditakutkan karena tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Misalnya karena sial pada saat menjelang kematian, kita berpikir yang tidak-tidak sehingga terlahir di alam rendah.
Sebagai penutup, saya ingin berbagi cerita yang lumayan berhubungan dengan topik di atas. Diceritakan bahwa terdapat seorang bos mafia yang dalam hidupnya sudah membunuh banyak orang dan berbuat banyak karma buruk lainnya. Suatu ketika gerombolannya diserang kelompok lain sehingga ia harus melarikan diri dengan beberapa luka tembakan di sekujur tubuhnya. Darahnya banyak mengalir dari setiap lubang tubuh yang terkena tembakan.
Akhirnya ia sampai pada suatu tempat di sebuah vihara. Kebetulan saat itu seorang biksu sedang memberikan ceramah tentang bagaimana pikiran yang tenang sebelum ajal dapat membawa seseorang terlahir kembali di alam yang lebih baik. Namun si bos mafia ini hanya mendengarkan beberapa penggalan kata terakhir. Karena merasa dirinya tidak punya harapan lagi, maka ia mencoba mempraktekkan apa yang dikatakan oleh sang bhikkhu tadi.
Ia perlahan-lahan mencoba mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal akibat lari dikejar-kejar musuh. Nafasnya yang melambat turut memperlambat denyutan jantungnya sehingga aliran darah pun melambat dengan sendirinya. Darah di seluruh lukanya perlahan-lahan tidak mengalir lagi. Akibat kondisi yang semakin stabil ini, tubuhnya membaik dan menciptakan kondisi pikiran yang tenang bagi si bos mafia tersebut. Pikiran untuk terlahir kembali di alam yang lebih baik ini menciptakan ketenangan yang luar biasa dan memperlambat proses kematiannya.
Lama kelamaan karena sifat dan perbuatan semasa hidupnya yang pendendam, tidak sabaran, dan lain-lain, ia menjadi heran dan mulai tidak sabar ketika proses kematiannya terasa lama sekali. Kemudian muncul pikiran-pikiran curiga pada sang biksu, jangan-jangan dirinya ditipu, lalu kesal dan marahnya bukan main. Perlahan-lahan nafasnya mulai tidak beraturan dan jantungnya mulai memompa lebih cepat. Karena tidak menyadari perubahan kondisi batin maupun fisiknya, luka-luka di sekujur tubuhnya membuka kembali dan darah pada lukanya kembali mengalir deras. Seketika itu pula, ia meninggal. Lalu bagaimana kondisi pikirannya sesaat menjelang ajal ? Kira-kira ke alam mana kelak ia akan dilahirkan ?
“Our birth and death are just one thing. You can’t have one without the other. It’s a little funny to see how at a death people are so tearful and sad, and at a birth how happy and delighted. It’s delusion. I think that if you really want to cry, then it would be better to do so when someone’s born. Cry at the root, for if there were no birth, there would be no death.”
(Ajahn Chah in No Ajahn Chah)
Love begins with a smile, grows with a kiss, ends with a tear. When you were born, you were crying and everyone around you was smiling.
Live your life so that when you die, you're the one smiling and everyone around you is crying.
If death meant just leaving the stage long enough to change costume and come back as a new character...Would you slow down? Or speed up ?
Mari memulai lembaran baru dengan
belajar, berlatih dan berbagi hidup berkesadaran